Cuma bermaksud berbagi pengetahuan, semoga bermanfaat
diambil dari sumber :
Oleh : Jacinta F. Rini
Jakarta, 14 Oktober 2011
Pernahkah Anda mendengar Nanotechnologist, atau ada
istilah lain Medical Roboticist, Computer Forensic Analyst, atau Seed
Production Engineer, Biomedical Engineer, Biorefinary Plant Specialist?. Dalam kesempatan ini saya ingin
mengajak Anda terutama para remaja untuk melihat kedirian kita dalam konteks
sosial yang lebih luas, bahwa di luar diri kita, rumah, teman-teman, sekolah,
lingkungan kita ada hal menarik untuk dijadikan sandaran, tujuan, pegangan,
acuan atau apapun sehingga kita tidak terjebak dalam radius lingkaran yang
kecil dalam melihat dan menjalani kehidupan kita.
Jika kita mendengar nama Mark Zuckerberg, Steve
Jobs, Bill Gates, Sergey Brin, Larry Page, hampir semua mengenal mereka
sebagai orang muda super sukses. Baru-baru ini peraih hadiah Nobel perdamaian
juga orang muda, Tawakul Karmen, wanita 31 tahun seorang jurnalis yang aktif memperjuangkan hak
asasi dan kebebasan berekspresi. Kita melihat banyak orang hebat di luar sana,
yang tidak cuma pintar di dalam tapi juga punya kontribusi untuk orang lain.
Namun jika kita berusaha menilik ke dalam, Indonesia punya banyak sekali orang
muda yang luar biasa. Sebut saja seperti Muhammad Aimar dari Pangkal Pinang, peraih
medali emas pada Olimpiade Sains Kuark tahun 2011 yang lalu, ada juga Steven Yuwono
yang menjadi juara Olimpiade Sains di Taiwan pada 2008 lalu. Kita bisa saja
merasionalisasi peristiwa itu sebagai peristiwa langka. Namun bagaimana dengan nama
Henrikus Kusbiantoro sang desaigner logo kelas dunia, Sehat Sutardja pendiri
Marvell Corporation yang pusatnya di Silicon valley, Oki Gunawan yang bekerja
di Pusat Riset IBM atau Merry Riana wanita belia yang sukses di Singapura dan
bahkan dinotbatkan sebagai wanita paling sukses dan inspiratif oleh Menpora-nya
Singapura. Jika diteruskan, ternyata banyak orang muda Indonesia yang
hebat.
Orang "setengah tua" yang hebat pun tidak kalah jumlahnya di negeri ini. Sebut saja Pak Sugiarto yang masih berusia 31 tahun tapi sudah memikirkan bagaimana menghasilkan air bersih buat warganya dan mengawali perjuangannya dengan menanam bibit beberapa jenis pohon, atau Ibu Tri Mumpuni yang "mencerahkan" masyarakat dengan teknologi listik yang sederhana namun bisa diterapkan dan ternyata manfaatnya amat sangat besar sehingga masyarakat desa tetap bisa membaca di malam hari dan melanjutkan kegiatan lain tanpa terhalang oleh kegelapan; Kak Butet Manurung, Mama Yosepha Alomang -dan masih banyak lagi nama-nama Indonesia yang kiprahnya tidak hanya di peruntukkan bagi kedirian, namun lebih pada kemasyarakatan dan keIndonesiaan.
Orang "setengah tua" yang hebat pun tidak kalah jumlahnya di negeri ini. Sebut saja Pak Sugiarto yang masih berusia 31 tahun tapi sudah memikirkan bagaimana menghasilkan air bersih buat warganya dan mengawali perjuangannya dengan menanam bibit beberapa jenis pohon, atau Ibu Tri Mumpuni yang "mencerahkan" masyarakat dengan teknologi listik yang sederhana namun bisa diterapkan dan ternyata manfaatnya amat sangat besar sehingga masyarakat desa tetap bisa membaca di malam hari dan melanjutkan kegiatan lain tanpa terhalang oleh kegelapan; Kak Butet Manurung, Mama Yosepha Alomang -dan masih banyak lagi nama-nama Indonesia yang kiprahnya tidak hanya di peruntukkan bagi kedirian, namun lebih pada kemasyarakatan dan keIndonesiaan.
Seringkali kita berpikir, untuk apa memikirkan yang
hebat-hebat dan jauh-jauh, memikirkan persoalan diri sendiri saja sulit dan
tidak selesai. Untuk apa repot-repot
berusaha kalau sekarang saja sudah nyaman.
Bergerak, Berubah dan Maju
Mengacu pada istilah-istilah di paragraph pertama,
itu semua adalah jenis pekerjaan yang
dibutuhkan dalam rentang waktu 10 tahun mendatang. Sangat mungkin Indonesia pun
membutuhkan jenis pekerjaan tersebut untuk memajukan pertanian, teknologi media
& informasi serta sektor lain
seperti konstruksi, industri serta pariwisata. Jika dilihat dari peta
Indonesia, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus di bereskan untuk bisa jadi
"orang maju" dan masyarakat maju; namun di pihak lain kesempatan untuk berpartisipasi
dalam mewujudkannya pun sangat besar. Terlepas dari kondisi pemerintah dan
birokrasi serta praktek hukum yang masih tidak jelas, masing-masing pribadi
sudah pasti punya tugas dan misi "pribadi" ketika dilahirkan ke dunia ini yang harus di
aktualisasikan semasa hidup. Jika dilihat dari kaca mata humanistik, setiap
orang punya gravitasi terhadap evolusi sehingga jika proses evolusi ini
berjalan serentak, maka tindakan individual akan menjadi gerakan kolektif yang
menghasilkan perubahan kolektif. Paragraph kedua, melukiskan orang-orang yang mengaktualisasikan
kemampuan dan talentanya, searah dengan hidup mereka masing-masing. Contoh ini
ingin mengatakan bahwa setiap orang dibekali talenta dan potensi yang
memampukan masing-masing mewujudkan sesuatu yang baik demi kebaikan manusia (for human kind). Jadi mewujudkan sesuatu
yang baik tidak mesti jadi orang besar dan orang terkenal dulu; dan mewujudkan
yang besar pun tidak selalu membuat kita jadi pahlawan besar dan terkenal. Saya
yakin banyak dari pembaca yang asing dengan nama-nama tersebut di atas.
Hidup dalam ilusi
dan otomatisasi
Apa hubungannya antara paragraph satu dan dua? Apakah
artikel ini ingin memotivasi pembaca untuk menjadi orang hebat? Tentunya tidak
demikian. Sederhananya, artikel ini ingin mengajak pembaca untuk melihat ke
dalam diri, supaya menemukan kembali apa yang menjadi rencana hidup
masing-masing agar hari lepas hari tidak berjalan begitu saja secara otomatis,
karena dalam otomatisasi, tidak ada perubahan dan kemajuan. Di dalam setiap
pribadi sudah tentu di tanamkan potensi laten yang akan teraktualisasikan jika
ada media dan sarana (waktu, tempat, kesempatan). Pertanyaannya bukanlah apakah
kesempatan itu harus dicari ataukah ditunggu. Masalah yang jauh lebih mendasar
adalah, apakah do we want to know what
can we do and what can we be ? Atau pertanyaan itu malah menimbulkan
kecemasan karena seolah kita diingatkan pada sesuatu yang fundamental "sesuatu
yang hilang atau terlupakan atau diabaikan karena kekecewaan terhadap situasi,
kenyamanan, atau rasa takut jika gagal " atau bahkan takut jika tidak bisa
mengelola kesuksesan, sehingga alih-alih berusaha eksploratif dan progresif,
malah memilih hidup yang mediocre.
Para remaja terutama, kini banyak yang kehilangan
arah dan tujuan karena otomatisasi dari aktivitas dan illusion of stability (ilusi akan kepastian). Masa remaja memang
penuh dengan dinamika yang kadang meriah, kadang suram. Namun di luar dari
kejadian sehari-hari, seberapa banyak yang memikirkan secara serius masa
depannya dan menjalaninya accordingly
secara konsisten, baik dengan cara membekali diri dengan ketrampilan maupun
mematangkan ketrampilan dan keahlian yang sudah ada. Berapa banyak yang sudah mencari
tahu apa yang dilakukan remaja-remaja di Negara lain, di tempat lain, di pulau
lain atau di desa lain. Berapa banyak yang menelusuri masa depan Indonesia dan
untuk itu apa yang "saya" butuhkan untuk bisa survive dan eksis di masa nanti; dan "apa yang bisa saya lakukan
untuk tanah air ini". Jawaban atas pertanyaan ini seharusnya bisa membawa
konsekuensi minimal munculnya tindakan untuk berpikir, sebelum melangkah pada
mencari tahu di internet atau teleivisi atau media lainnya. Penemuan itu tidak
selamanya positif, sangat mungkin menemukan kesuraman. Akan tetapi terlepas
dari realita saat ini, yang perlu dipikirkan adalah persiapan menghadapi
realita yang akan datang, bukan ? Masalahnya, apakah dengan sikap mediocre kita bisa menghadapi masa
datang ? apakah sikap hidup yang mediocre
menjamin kita mampu beradaptasi terhadap perubahan dan pergerakan yang begitu
cepat?
Berawal Dari
Krisis
Pertanyaan ini jika diarahkan pada diri sendiri,
kemungkinan menimbulkan krisis yang seyogyanya tidak dihindari meski membuat
hati tidak nyaman. Sayangnya kebanyakan remaja masih banyak yang memilih untuk
menghindar berhadapan dengan calon kenyataan ini, dan memenuhi pikiran serta
perasaan dengan hal-hal yang "mudah, sederhana
dan menyenangkan", kalau perlu tidak usah berpikir apalagi memikirkan
yang serius-serius. Padahal, jika di
selidiki, setiap remaja pasti punya mimpi besar. Keri Russel mengatakan "Sometimes it's the
smallest decisions that can change your life forever". Pepatah ini secara tidak langsung ingin mengatakan bahwa bukan soal
besar kecilnya keputusan maupun tantangan yang dihadapi, namun apakah kita
berani membuat keputusan. Otomatisasi membuat kita tidak terbiasa mengubah
rutinitas dan kepastian ritme. Kenyamanan membuat kita enggan beresiko;
beresiko susah, gagal, kehilangan image, resiko di lecehkan, di tertawakan, di
sangsikan, dsb. Namun kita tidak boleh lupa bahwa tidak berubah pun ada
resikonya yakni stagnasi dan kematian (dalam arti eksistensial). Tanda-tanda
kehidupan adalah perubahan, jika tidak ada perubahan, berarti bukan lagi
organism dan artinya kita menghilangkan kemanusiaan kita.
Jika kita tidak berpikir jauh ke depan, maka kita
tidak merasa perlu untuk berubah karena masih lebih banyak orang yang terjebak
dalam kekinian tanpa melakukan sesuatu yang signifikan baik untuk diri mereka
sendiri apalagi untuk orang lain. Salah satu tanda apakah kita terjebak dalam
lingkaran semu yang tidak esensial, adalah jika kehidupan kita terasa monoton,
berjalan di tempat, tidak ada perubahan kualitas diri, tidak ada penambahan
kepandaian atau keahlian, tidak juga tambah maju, bahkan kerap mengalami persoalan yang serupa hanya kemasan yang berbeda,
kasusnya yang beda, atau "pemain" -nya yang berbeda. Atau, kita menjadi semakin takut terhadap
perubahan itu sendiri, jadi ketika ada yang mengkritik, kita jadi sensitive.
Jika ada yang mengganti jadwal, kita jadi emosional; ketika ada yang mengganti
sistem, kita protes karena harus mempelajari cara baru. Jika merasa demikian,
itulah tanda kita harus mengambil
keputusan untuk merubah cara pikir,
merubah kebiasaan, mengambil tindakan nyata, dan bukan sekedar rencana.
Being, Doing and Becoming
Ada pepatah menarik, "Yesterday is History, Tomorrow a Mystery, Today is a Gift, Thats
why it's called the Present". Pepatah ini saya ungkapkan dan sasarkan pada para
remaja terutama, supaya kita semua berhenti mengacukan diri pada segala sesuatu
yang bersifat sementara, memakai ukuran jangka pendek maupun sibuk dengan
persoalan yang tidak esensial / tidak penting karena ternyata hidup ini dibangun
dari kekinian di tengah konteks perubahan yang sangat cepat.. Seperti kata
Thomas L Friedman, "When the world is
flat, whatever can be done will be done. The only question is whether it will
be done by you or to you".
Indonesia kelak membutuhkan nanotechnologist, biomedical engineer, self enrichment and educators,
energy resources engineer, dan banyak lagi. Pertanyaannya, apakah Anda, para
remaja punya kemampuan dan keahlian yang dikatakan di google sebagai pekerjaan yang paling dibutuhkan 10 tahun
mendatang. Apakah kita siap menghadapi
perubahan drastic dunia dengan kekinian kita apa adanya ? Apakah kita masih
bisa hidup tenang, nyaman, enak pada 10 tahun mendatang dengan kekinian dan
kebiasaan yang kita pertahankan ini ? Apakah kita tahu bagaimana menggenapi
mimpi kita sendiri dan apakah kita mampu
menggenapi misi kita selama hidup di dunia ini. Mulailah kita menjawab satu per
satu pertanyaan itu supaya kita bisa melanjutkan kehidupan ini dengan lebih
baik. Cogito Ergo Sum
No comments:
Post a Comment